Perempuan sering dianggap makhluk lemah. Perempuan sering bersimpuh
tak berdaya di hadapan kezaliman, atau tekanan sosial. Atau terhadap
keadaan yang tak bersabahat. Apalah dayaku, karena aku hanya seorang
perempuan.
Emakku hanya perempuan biasa. Ia bahkan tak pernah sekolah, karena di
kampungnya dulu memang tak ada sekolah. Andai pun ada, Emak mungkin tak
akan dapat kesempatan memasukinya. Karena ia hanya seorang perempuan.
Perempuan tak perlu sekolah, tak perlu belajar. Ketika ada kesempatan
belajar kajian sederhana, ayahnya melarangnya ikut serta.
Namun Emak tak menyerah pada kemiskinan yang membelitnya. Juga tidak
pada ketiadaan yang ia hadapi. Meski tak pernah sekolah, cakrawalanya
terbentang jauh melampaui pulau kecil tempat kampungnya berada. Ia punya
cukup kesadaran bahwa pendidikan adalah jalan untuk memastikan masa
depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Hijrah adalah langkah pertama yang diambil Emak. Ia ajak suaminya,
seorang buruh tani, untuk pindah kampung, ke tempat di mana mereka
berdua bisa punya tanah. “Tanah adalah modal dasar hidup kita,” katanya.
Saat memegang kapak untuk merimba, menebang pohon, membuka lahan
untuk dijadikan ladang, Emak sama perkasanya dengan lelaki manapun di
dunia ini. Ayunan kapaknya berdesing saat melewati udara, menghujam
dalam, melukai pohon perkasa.
Batang demi batang pohon bertumbangan, tunduk di bawah kakinya. Di
kaki itulah lalu terbentang ladang garapan pemberi harapan. Di situlah
berkembang padi, lalu kelapa yang menjadi penopang nafkah keluarga.
Kusaksikan sendiri ayunan parang Emak saat kami bersama menebas
rumput-rumput yang menyelimuti kebun kelapa. Kupandangi pula ayunan
cangkul dan penggalinya, saat ia menggali parit selokan di tengah kebun.
Kunikmati pula belai tangannya saat ia menidurkanku.
Telapak tangan Emak bukanlah telapak tangan halus dengan jemari
lentik. Telapak tangan itu kasar, tapi kokoh menjanjikan perlindungan
bagi masa depan kami.
Emak berwatak keras. Ayahnya melarangnya belajar. Ia diam ketika itu.
Tapi ia menyimpan dendam. “Tak ada yang boleh melarang kalau kelak
anakku hendak kusekolahkan,” tekadnya.
Bahkan ketiadaan sekolah di kampung kami pun tak menghalanginya. Ia
rela mendayung sampan 3 hari, pergi ke kampung pamannya, menitipkan
anaknya sekolah di sana.
Emak adalah penggerak. Melalui suaminya ia membuat orang-orang
kampung bergerak, membangun sekolah. Ia adalah pelopor, ia yang pertama
mengirim anak-anaknya sekolah ke kota.
Bertani saja tak cukup untuk menjamin anak-anaknya bisa sekolah. Emak
kemudian berdagang. Ia membeli baju dan kain dari kota, kemudian
menjajakannya berkeliling kampung. Ia juga merias pengantin. Segala
sesuatu yang bisa dijadikan sumber pendapatan, akan dikerjakannya.
Di hari tuanya Emak bukan orang kaya raya. Tapi pasti, ia tak lagi
fakir. Anak-anaknya mendapat pendidikan, kemudian hidup layak. Emak
menikmati hari tuanya dengan sederhana.
Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis untuk menginspirasi banyak
orang. Ia hanya berbuat, membuktikan bahwa perempuan tak selalu lemah
dan menyerah. Ia menunjukkan dengan perbuatan, bahwa kemiskinan bisa
dilawan.
Emak bukanlah tokoh bangsawan, ia pun bukan petinggi di tengah
masyarakat. Tapi ia telah menunjukkan hal yang paling substansial dalam
soal kepemimpinan. Yaitu bahwa kepemimpinan itu adalah memberi pengaruh
pada orang, untuk membuat perubahan.
Entah ada berapa juta perempuan seperti Emak di negeri kita.
Emak-emak perkasa, yang membebaskan anak-anaknya, menjadi tak lagi papa
dan sengsara. Di tangan mereka nasib kita, nasib bangsa ini diubah.
Baca juga: Emakku Bukan Kartini
Catatan: cerita perjuangan Emak penulis ini dituangkan dalam buku yang bisa dibeli di Gramedia lewat tautan ini.
Oleh : Hasanudin Abdurakhman
Editor | : Wisnubrata |
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !