Liputan6.com, Washington, DC - Pertemuan Presiden Amerika
Serikat Donald Trump dengan Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman yang
awalnya diprediksi berlangsung singkat di menit-menit terakhir berubah
menjadi makan siang formal di Gedung Putih pada Selasa 14 Maret waktu
Washington. Ini merupakan pertemuan perdana pemimpin dua negara pasca
pelantikan Trump 20 Januari lalu.
Kedatangan Pangeran Mohammed bin Salman ditengarai menunjukkan
harapan tinggi Riyadh untuk meningkatkan hubungan dengan Washington
menyusul ketegangan yang terjadi pada era pemerintahan Barack Obama,
khususnya atas kesepakatan nuklir Iran.
Momen makan siang tersebut dimanfaatkan oleh Trump dan Pangeran
Mohammed bin Salman yang menjabat sebagai menteri pertahanan sekaligus
wakil putra mahkota Arab Saudi untuk membahas kondisi Yaman.
Perang saudara antara kelompok pemberontak Houthi yang didukung Iran
dan pasukan pemerintah yang didukung koalisi pimpinan Saudi -- disokong
pula oleh AS -- tengah berkecamuk di Yaman. Pada saat yang sama, Negeri
Paman Sam juga berniat memperluas aksi militernya melawan al Qaeda di
Semenanjung Arab.
Seperti dikutip dari The New York Times, Rabu, (15/3/2017),
profil Trump yang merupakan seorang presiden baru AS sementara Pangeran
Mohammed, seorang pemimpin muda dan ambisius meraih pengaruh seluas
mungkin di kerajaannya, membuat keduanya melihat satu sama lain sebagai
sekutu penting dalam berbagai isu.
Dalam pertemuan keduanya, Trump diharapkan dapat mendesak Arab Saudi
untuk mendukung zona aman di Suriah di mana pemerintahannya
bersikeras bahwa itu merupakan alternatif untuk menampung pengungsi yang
"tersandera" perang saudara selama enam tahun.
Trump dan lingkaran dalam Gedung Putih juga melihat Saudi sebagai
komponen penting atas strategi Gedung Putih untuk mendapatkan sekutu di
Timur Tengah untuk membantu memecahkan kebuntuan dalam konflik
Israel-Palestina. Pendekatan seperti ini disukai oleh Jared Kushner,
menantu yang juga penasihat senior Trump.
Kushner yang berasal dari keluarga Yahudi ditugaskan Trump untuk mewujudkan perdamaian Israel-Palestina.
"Presiden dan penasihat utamanya melihat Arab Saudi sebagai bagian
penting dari Timur Tengah dan sebuah negara yang vital untuk menjalin
hubungan positif meski ada gangguan. Ini bertentangan dengan
pemerintahan Obama, sehingga mereka ingin membuat perbedaan ini cukup
jelas," terang Simon Henderson, direktur the Gulf and Energy Policy
Program di Washington Institute untuk Kebijakan Timur Dekat.
Arab Saudi dan sejumlah negara tetangganya disebut-sebut optimis
dengan pemerintahan Trump, ini dipicu frustasi mendalam mereka atas
penolakan Obama untuk terlibat jauh dalam berbagai isu di Timur Tengah,
seperti Suriah misalnya.
Latar belakang Trump yang merupakan seorang pebisnis dan minat yang
kurang terhadap isu HAM serta sumpahnya untuk bersikap keras terhadap
Iran merupakan faktor yang memupuk optimisme tersebut.
"Mereka senang melihat Obama lengser," ujar Bruce Riedel dari Brookings Institution.
Lebih jauh Riedel menerangkan bahwa pihak kerajaan Saudi telah
kehilangan kepercayaan terhadap Obama pasca Arab Spring menyapu sejumlah
negara Timur Tengah dan Afrika Utara pada tahun 2011. Terlebih, Obama
kerap menekan beberapa pemimpin Timur Tengah seperti Presiden Mesir
Abdel Fattah el-Sisi soal HAM.
"Trump telah menegaskan bahwa ia tidak khawatir soal HAM atau
kebebasan, dia menegaskan bahwa Sisi akan menjadi teman baiknya di
Mesir, bahwa semua pertanyaan-pertanyaan sulit tentang kesetaraan gender
dan sejenisnya akan ada di kolong meja selama empat tahun ke depan. Dan
Iran akan jadi fokus. Itulah yang dilihat Saudi, mereka tidak perlu
khawatir soal hal tersebut," jelas Riedel.
Meski demikian, sama seperti banyak pemimpin dunia lainnya, Saudi
juga menempatkan sejumlah kewaspadaan atas Trump soal kompetensi dasar
pemerintahannya dan latar belakang dirinya yang tidak berpengalaman
dalam urusan geopolitik. Terlebih, Trump dinilai mengirimkan "sinyal"
tidak jelas terhadap dunia Islam.
Menurut Riedel pada akhirnya, pemerintahan Trump khususnya Menteri
Pertahanan Jim Mattis "mengakui bahwa AS perlu mengklarifikasi sinyal
tersebut dengan pihak Saudi, dan cara terbaik melakukannya adalah dengan
anak kesayangan raja".
Pangeran Mohammed (31) menempati posisi kedua dalam garis takhta
setelah putra mahkota Pangeran Muhammad bin Nayef bin Abdulaziz Al Saud.
Ia mengawasi Saudi Aramco, sebuah perusahaan minyak milik negara,
sementara sebagai menhan Saudi ia bertanggung jawab atas intervensi
Saudi di Yaman.
Bagi Saudi, pemberontak Houthi di Yaman adalah sebuah ancaman
nasional dan mereka menginginkan Amerika memberi bantuan yang lebih
besar dalam menumpas kelompok itu. Dari sisi perdagangan diketahui Arab
Saudi merupakan pembeli utama senjata AS.
Pangeran Mohammed juga merupakan pemilik utama gagasan Visi 2030 yang
berencana mentransformasi kerajaan dan mengurangi ketergantungan
terhadap minyak. Sementara ia berada di Washington, sang ayah, Raja
Salman masih melakukan tur Asia demi menarik investasi asing ke Saudi.
Turut serta dalam pertemuan Trump dengan Pangeran Mohammed adalah
Wapres Mike Pence, Penasihat Keamanan Nasional Steve Bannon, Penasihat
Senior Jared Kushner, dan Kepala Staf Gedung Putih Reince Priebus.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !